Pada Sebuah Asumsi, Seni Terletak di Materi(al).
Seni pada perkembangan yang bisa saya ikuti, artinya saya mengerti, tentu saja dengan mengukur suatu karya (karya itu sendiri atau asumsinya), sepertinya telah dijejali sekian banyak asumsi-asumsi, yang memperkarakan medium representasinya sendiri. Ketika saya memandang seni sebagai sebuah kemauan yang tak disadari, ketika saya sadar saya telah berasumsi, ketidaksadaran saya mati. Lalu ukuran apa yang saya pakai, entah, yang pasti sangat subjektif. Sebelum diteruskan, saya hanya ingin katakan subjektif bukan berarti tanpa dasar. Hanya sebuah keberanian. Tapi juga bukan untuk menghadapkan diri secara bertentangan dengan logika formal. Logika formal yang mana? Yang mana saja yang kamu anggap formal, walau belum tentu berkesesuaian dengan apa yang saya maksudkan. Jadi, bebaskan, lalu mari kita teruskan.
Tidak semua asumsi berdampak. Tapi saya memfokuskannya hanya pada asumsi yang berdampak. Buat apa saya menulis sesuatu yang tidak berdampak? Bukan itu pertanyaannya, tapi seperti apa dampaknya, bagaimana dampak itu dihasilkan, dari proses seperti apa?
Perdebatan, dimana seharusnya lukisan di mediakan, kanvas, tembok, kaos, monitor komputer, atau media lainnya. Selesai. Semuanya boleh. Tidak ada seharusnya. Walau kemudian istilah gambar di anggap lebih relevan jika di luar kanvas. Keterikatan dengan kanvas yang semakin lemah membuat para seniman lebih bebas mengungkapkan segala gagasannya lewat semua media yang mungkin. Di saat kematian seniman sebagai pembentuk maksud, seni justru kian menjadi pernyataan pribadi. Sebuah ironikah? Seolah ironi, mungkin itu jawaban saya.
No comments:
Post a Comment